From Ms To Mrs

Rasanya baru-baru aja aku masih sibuk ngurusin kuliah dan coas, hang out sana-sini, dan hal-hal yang menurut aku gak ribet. Sekarang mendadak yang lagi berkembang di sekitar aku adalah soal pernikahan, si ini hamil, si itu punya anak, dunia kerja yang berat. Weew...faktor U ya. Orang-orang disekitar aku, yang umurnya sepantaran aku atau lebih udah banyak yang lebih dulu terjun ke adult life. Lihat aja Pipit. Dulu dia clueless banget soal married dan tetek bengeknya, nyatanya di antara Paralesz malah dia yang nikah duluan plus anaknya udah berumur setahun lebih sekarang. Senior-senior aku di kampus, yang dulunya teman curhat dan main sekarang udah pada berumah tangga juga satu per satu. Dan insya Allah sekitar 4 bulan lagi aku bakal jadi istri orang. How time flies, huh? Kadang pengen rasanya ngumpul-ngumpul seperti dulu tanpa embel-embel adult life. But life does go on. Kita gak punya kuasa apapun buat memperlambat atau mempercepat kehidupan. Yang bisa kita lakukan adalah menikmati setiap detiknya, karena setiap hari itu adalah berkah dan kita wajib bersyukur.

Kenapa aku mau menikah?
Kenapa aku mengiyakan lamaran B'Andri?
Jujur, kalau ditodong seperti itu aku malah gak punya jawaban yang meyakinkan. Nanti jatuhnya malah jawaban gombal ala novel-novel romantis. Hahhahaa.
Memberanikan diri untuk niat menikah, menghabiskan waktu dengan orang yang sama, menerima orang lain apa adanya, belajar bertanggung jawab untuk menjalani rumah tangga memang bukan hal yang mudah. Ada banyak hal yang harus dikompromikan ke pasangan kita. Pernikahan kan berjalan dua arah, gak melulu harus tentang istri atau suami aja. Jangan tanya kesiapan aku, karena honestly, aku belum siap. But I'm willing to learn. Buat aku, mendingan belajar menerima orang lain sebagai partner hidup dibandingkan harus hidup sendirian. Dan aku gak mau lagi jauh-jauh dari B'Andri. Kan, jatuhnya norak, kan...

Ada kemarin aku simpan kata-kata bagus dari akun @JennyJusuf.

"Get married when you're ready, not because the society tells you to."
"Get married because you're in love, not because your mom tells you she can't wait to hold her grandson."
"But the most important thing is, get married when you're ready for both foreverness and separation. Yes, both."

Bikin aku jadi berpikir, why am I getting married?
All I know, something missing when he's not around. Sama dia aku bisa 'membuka' diri aku sebebas-bebasnya. Bahkan ada hal-hal yang susah aku sampaikan bahkan sama keluarga dan teman-teman aku. Tapi sama dia, I open my self widely. People may judge me, even if they know nothing about me. But he never do that. Dia mencoba mengenal aku dengan caranya sendiri, buat aku tanpa sadar bisa nyaman hanya dengan melihat dia ada, dan berbicara dengannya. Sama dia, aku banyak tertawa. Hal-hal bodoh yang sering kami lakuin bareng malah jadi moment yang bisa bikin aku senyum-senyum sendiri. Buat aku sadar kalau akhirnya, I just wanna live with him. Prosesnya gak mudah, aku udah pernah cerita di post sebelumnya. Tapi pada akhirnya, niat yang baik pasti bisa menemukan jalannya. Insya Allah.

Aku kadang ketakutan kalau apa yang kami rencanakan ini tidak berjalan sesuai rencana. Takut kalau nanti setelah berumah tangga akan ada banyak hal yang berubah, mungkin jauh di luar perkiraan aku. But he did convince me that everything will be alright. Aku harus banyak belajar. Being single is way more different than being a wife. Baiknya ketakutan aku disimpan dulu, dan jalani persiapan menuju hari H dengan sebaik-baiknya. 

Insya Allah, dia yang terbaik yang dipilihkan Allah buat aku.
Aku juga akan berusaha jadi yang terbaik buat dia. 
Gak akan ada orang yang sempurna. Tapi kita butuh orang yang bisa buat kita percaya. Dan aku percaya, sama dia aku akan baik-baik saja. Kami akan baik-baik saja. 

Four months left...Bismillah...

Comments

Popular posts from this blog

Lucky